Pernahkah kita berpikir tentang otak kita? Mungkin sering kali kita tidak sadar bahwa ada suatu rahasia besar di balik kehebatan otak kita yang selama ini kita belum tahu. Bahkan para ilmuwan memasukkan pembahasan tentang otak dalam bahasan khusus, atau ada istilah brainnomi―disejajarkan kandungan misterinya seperti dalam ilmu astronomi yang belum banyak rahasia terkuak. Apa rahasia di balik sebuah daging yang dibungkus kulit, di mana menempelnya pusat-pusat syaraf yang berhubungan dengan seluruh indera kita? Saya akan mencoba sedikit menguak rahasia otak kita yang telah diketahui para ilmuwan lewat tulisan ini.
Anda mungkin sudah sering mendengar kelainan seseorang, yang berputar masalah persepsi atau indera. Misalnya kelainan buta warna, phobia (ketakutan berlebihan terhadap sesuatu) atau mungkin sinesthesia, istilah yang terakhir ini mungkin jarang terdengar. Saya akan mencoba menerangkan singkat masing-masing kelainan ini, sebagai contoh sebelum saya menjelaskan kerja otak. Ketiga kelainan tersebut berkaitan dengan kerja otak kita― yang bekerja seperti komputer ―supaya kita mengerti mengapa kelainan itu bisa terjadi. Kelainan buta warna didefinisikan sebagai sebuah kesulitan seseorang untuk membedakan warna yang sangat berdekatan, misalnya merah dan jingga, atau hijau muda dan kuning. Ternyata semua itu terjadi di dalam otaknya, artinya di pusat penglihatan sel-sel syarafnya tak mampu menginterpretasikan warna itu. Lain halnya dalam kasus phobia bisa dibilang adalah kasus yang ekstrim, karena seseorang menderita ketakutan (kebanyakan terjadi karena trauma masa lalu) hanya karena hal-hal yang biasa saja, misalnya, takut hewan-hewan atau benda tertentu, takut ketinggian, tempat gelap, lorong panjang, dan sebagainya. Di mana yang menjadi masalah adalah peristiwa itu membuat seseorang menjadi “gila” dalam arti jantung berdebar-debar, berkeringat, menangis atau berteriak-teriak kesakitan atau bisa sesak napas dan kejadian-kejadian “aneh” lainnya. Semua itu terjadi akibat memori masa lalu yang dihadirkan kembali oleh otak penderita karena pikiran si penderita itu sendiri, yang menyebabkan si otak bekerja agar merasakan sensasi―rasa sakit, panas atau apapun―dan memerintahkan organ-organ lain bekerja seakan-akan dalam situasi ‘darurat’ sesungguhnya yang merupakan khayalan (tapi mungkin pernah dialami) si penderita, namun hal itu tetaplah nyata baginya, hingga dapat membahayakan diri si penderita jika dibiarkan.
Dalam kasus terakhir, yaitu kelainan sinesthesia, bukanlah kelainan yang membahayakan, bahkan mungkin bisa dianggap sebagai anugrah. Kelainan ini didefinisikan berupa tercampurnya persepsi panca indera, para sinesthesiker ibaratnya menangkap persepsi lingkungan lebih luas ketimbang orang normal. Misalnya, nasi putih rasanya kuning, atau sebuah komentar suatu masakan “rasa ayamnya kurang banyak titiknya”, atau angka lima kenyal seperti karet, hari senin warnanya biru. Francis Galton, seorang ilmuwan inggris melakukan penelitian kepada para sinesthesiker lalu menarik kesimpulan, bahwa bentuk sinesthesia yang paling umum adalah mendengar warna. Kesan yang ditimbulkan dari penerapan informasi (dalam otak), diolah dalam spektrum yang kemungkinan yang lebih lebar. Fenomena sinesthesia ini pernah diteliti lebih jauh di sekolah tinggi kedokteran Jerman. Dari penelitian itu, ditemukan kurva gelombang otak yang berbeda secara signifikan dengan kurva gelombang otak manusia normal. Di dalam otak pengidap sinesthesia, informasi dari luar ditafsirkan secara luas dan beraneka ragam, artinya ketika ada informasi dari panca indera―misalnya suara―tidak hanya diterima syaraf pusat pendengaran, tapi mungkin saja diterima juga oleh syaraf-syaraf pusat pengecapan atau peraba atau juga pusat penglihatan yang menginterpretasikan warna dan rasa sehingga orang bisa berkata makanan ini rasanya kuning, atau musik Iwan Fals terdengar lembek hijau, dan sebagainya. Persepsi yang multi dimensional ini, juga berfungsi sebagai acuan memori yang kuat. Contohnya komposer musik klasik terkemuka, Franz Liszt yang mengakui, melihat aneka warna jika ia membuat komposisi musiknya. Ahli fisika pemenang hadiah Nobel, Richard Feynman juga mampu merumuskan hitungan fisika yang sulit. Kuncinya, ternyata ia seorang sinesthesiker yang melihat warna-warni dalam persamaan yang dibuatnya. Yah menurut saya bagian ini sudah cukup sebagai contoh sedikit kehebatan yang bisa diperbuat oleh otak kita.
Kita sudah mengetahui cara kerja otak kita yang bekerja seperti sebuah super komputer yang rumit nan canggih, yang merekam informasi dari ‘dunia luar’ lalu diinterpretasikan oleh syaraf-syaraf pusat indera kita, tentang apa itu warna, rasa pengecapan, bau dan rasa keras, lembut, sakit, panas, kemudian diinformasikan kepada diri kita. Sehingga kita dapat merasai kehidupan dunia seperti sekarang ini dan juga termasuk alam mimpi yang nyata. Namun marilah coba pertajam pikiran logis kita dari fakta dan data di atas, bahwa sesungguhnya alam ini tidak mutlak seperti yang kita pikirkan selama ini, karena otak adalah ‘mesin komputer’ yang memiliki pusat persepsi indera-indera (pusat penglihatan seperti monitor, atau pusat pendengaran seperti speaker) untuk kita rasakan, yang dapat dimanipulasi. Paparannya tentang hal itu akan saya tulis di paragraf selanjutnya.
Saya mencoba menggunakan sebuah contoh, atau lebih ekstrim bisa disebut kasus ‘manipulasi’ otak. Bagaimana seandainya ada ilmuwan mencoba menciptakan seorang sinesthesiker buatan namun sangat ektrim? Mari kita lihat. Para ilmuwan telah sedikit banyak mengetahui segala sensasi rasa yang kita rasakan diatur dalam otak, contoh; inti ventromedial hipotalamus adalah bagian dari otak yang mengatur respon dan sensasi dari rasa lapar, kenyang, dan rangsangan seksual. Kemudian bila ada ilmuwan dengan peralatan canggih ‘mengalihkan’ sinyal-sinyal masukan yang menuju inti ventromedial hipotalamus itu ke pusat penginderaan rasa panas, dingin kemudian diparalelkan ke pusat penciuman dan pusat penginderaan warna! Apakah yang terjadi? Ilmuwan itu telah ‘membuat’ manusia pengidap sinesthesia ‘ekstrim’! Sinesthesiker itu tidak akan pernah merasakan rasa lapar, kenyang ataupun kenikmatan seksual! Yang terjadi adalah apabila ia selesai makan; mungkin dia berkata: “perutku rasanya panas kebiruan”, atau “perutku terasa bau busuk hijau”, begitu juga ketika ia lapar atau mendapat rangsangan seksual. Namun ada satu hal penting yaitu: ilmuwan itu tidak perlu menggunakan materi sesungguhnya untuk mendapatkan sensasi rasa tersebut! Dia hanya perlu memberi input sinyal-sinyal listrik dari luar―seperti mendapat rangsangan sesungguhnya―ke pusat-pusat pengindraan, sehingga si sinesthesiker benar-benar merasakan sensasi rasa tersebut. Jadi memang benar bahwa sensasi rasa adalah sesuatu yang relatif, tergantung di otak kita. Inilah kira-kira contoh yang bisa saya berikan untuk menjelaskan bahwa otak adalah mesin pembuat sensasi yang bisa dimanipulasi tanpa keberadaan mutlak rangsangan obyek materi.
Apa yang bisa kita simpulkan dari penjelasan di atas adalah bahwa dunia yang kita rasakan ini adalah sebuah kerelatifan semata. Karena ‘dunia luar’ ada hanya sebatas kemampuan indera dan otak kita. Dan ternyata otakpun dapat dimanipulasi, seperti kejadian mimpi dan kasus kelainan otak lain, yang membuat ‘dunia lain’, sebagaimana anjing yang diteliti ilmuwan, hanya mampu melihat warna dari tingkatan putih, abu-abu, dan hitam, namun memiliki ‘sensor’ penciuman yang tajam, begitu pula hewan yang lain memiliki ‘dunia yang berbeda’. Artinya, dari semua kerelatifan ini semua hakikatnya adalah ilusi (namun tidak berarti materi tidak ada)!
KERJA OTAK UNTUK MEMUNCULKAN ILUSI SENSASI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar